ARSITEKTUR VERNAKULAR SUMATERA BARAT

On: October 23, 2008



Latar Belakang
Kajian mengenai identitas dalam arsitektur, merupakan sebuah fenomena
yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Bukan hanya mengenai
identitas arsitektur Indonesia, tapi permasalahan identitas ini telah
mulai dipertanyakan pada tingkat arsitektur kedaerahan.

Adanya istilah arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular
merupakan sebuah wacana yang berhubungan dengan kajian dalam arsitektur
kedaerahan tersebut. Sampai saat ini, kedua istilah tersebut masih
belum ada pendapat-pendapat yang secara tegas memberikan batasan yang
antara keduanya. Secara gamblang kedua istilah ini sudah lama digunakan
didalam keseharian kita, tetapi yang mana yang merupakan contoh
arsitektur tradisional serta yang mana yang tergolong kedalam
arsitektur vernakular masih belum terdefinisi dengan jelas.

Dalam pembahasan ini, yang mencoba mengangkat tema rumah gadang sebagai
arsitektur vernakular Sumatera Barat, penulis berusaha mengkaji
mengenai arsitektur vernakular berdasarkan pendapat-pendapat beberapa
ahli serta mencoba membandingkannya dengan fenomena-fenomena pada rumah
gadang yang merupakan salah satu produk dari arsitektur khas daerah
Sumatera Barat.

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam bahasan ini adalah mencoba
mendefinisikan kembali pengertian dari arsitektur vernakular dengan
rumah gadang sebagai objek kajian pembahasannya.

Arsitektur Vernakular

Menurut Turan dalam buku Vernacular Architecture, arsitektur vernakular
adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat
yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik,
serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error),
menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas
setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka
untuk terjadinya transformasi.

Lebih lanjut dalam buku yang sama, Turan telah mencoba
mengklasifikasikan arsitektur vernakular kedalam beberapa tinjauan,
yaitu:
1.Arsitektur vernakular sebagai produk.
2.Arsitektur vernakular sebagai proses.
3.Arsitektur vernakular dari tinjauan filosofis.
4.Arsitektur vernakular sebagai ilmu pengetahuan.

Romo Manguwijaya dalam buku Wastu Citra juga memberikan pendapat yang
hampir senada mengenai definisi dari arsitektur vernakular itu sendiri.
Menurut beliau, arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang
jujur dari tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan
sejarah dari suatu tempat.

Jadi arsitektur vernakular bukanlah semata-mata produk hasil dari
ciptaan manusia saja, tetapi yang lebih penting adalah hubungan antara
manusia dengan lingkungannya.

Sonny Susanto, salah seorang dosen arsitek pada Fakultas Teknik
Universitas Indonesia juga mengatakan bahwa arsitektur vernakular
merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur tradisional, yang mana
arsitektur tradisional sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup,
tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku yang
berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum, sedangkan
arsitektur vernakular merupakan transformasi dari situasi kultur
homogen ke situasi yang lebih heterogen dan sebisa mungkin menghadirkan
citra serta bayang-bayang realitas dari arsitektur tradisional itu
sendiri.

Temuan dilapangan, selama mengadakan penelitian pada kawasan
penelitian, ditemukan beberapa hal menarik yang dapat dijadikan sebagai
masukan didalam penulisan ini. Diantaranya yaitu adanya ditemukan
beberapa rumah gadang yang tidak ada mengalami perubahan (transformasi)
didalamnya, serta ada beberapa rumah gadang yang sudah mengalami
transformasi dan yang menariknya yaitu ternyata rumah gadang yang tidak
mengalami perubahan tersebut (sangat sedikit terjadi transformasi runag
maupun bangunannya) ternyata merupakan istana kerajaan dari keempat
raja yang masih berkuasa tersebut. Jadi pendapat yang mengatakan
istilah arsitektur tradisional lebih tepat digunakan untuk istana raja
ataupun kuil-kuil.

Tinjauan Terhadap Arsitektur Tradisional

Selain sebagai arsitektur vernakular, istilah arsitektur tradisional
juga merupakan istilah yang sering muncul didalam kalangan masyarakat
kita. Kelatahan masyarakat dalam menggunakan istilah tradisional ini
seringkali menimbulkan sebuah keraguan dalam menentukan yang mana yang
dianggap sebagai arsitektur tradisonal dan mana yang vernakular.

Menurut Bruce Allsop (1980) yang telah membagi arsitektur menurut
jenisnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arsitektur tradisional
itu adalah arsitektur yang dibuat dengan cara yang sama secara turun
temurun dengan sedikit atau tanpa adanya perubahan-perubahan yang
significant pada bangunan tersebut. Arsitektur tradisional ini biasa
disebut dengan arsitektur kedaerahan.

Sebuah kata kunci yang bisa kita ambil disini sebagai salah satu
pembeda yang dapat kita gunakan untuk melihat antara arsitektur
tradisional dan arsitektur vernakular adalah tingkat dari transformasi
(perkembangan atau perubahan) yang terjadi pada suatu bangunan
tradisional itu, dalam hal ini yaitu bangunan rumah gadang.

Rumah Gadang Sebagai Arsitektur Vernakular

Fenomena hunian merupakan sebuah budaya yang akan selalu berubah sesuai
dengan tuntutan sipenghuni yang menempatinya. Begitu juga dengan rumah
gadang yang merupakan salah satu wadah hunian yang masih digunakan oleh
masyarakat Minangkabau.

Rumah Gadang bukanlah hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan
tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian
luar dan dalamnya mengandung arti dan makna tersendiri yang secara
keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilinial yang
dianut oleh masyarakat Minangkabau

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang dinamis yang akan
selalu berubah seiring dengan perjalanan waktu. Seperti yang telah
dibunyikan dalam salah satu pepatah adat Minangkabau yaitu ’Alam
Takambang Jadi Guru’. Satu hal menarik yang dapat kita simpulkan disini
adalah bahwa setiap pelajaran yang didapat dari alam itu seharusnya
mampu diakumulasikan sebagai masukan baru dalam kehidupannya, hal
inipun tidak tertutup dalam hal rumah atau fasilitas hunian mereka.
Dalam tulisannya Amos Rapoport menegaskan bahwasanya bangunan sebuah
rumah (tempat tinggal) merupakan sebuah fenomena budaya yang bentuk dan
organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh “cultural milieu” dari
etnis tertentu sebagai pemiliknya. Dari tulisan ini kita dapat
mengambil suatu masukan bahwa perubahan dari budaya dari suatu etnis
tertentu akan berpengaruh pada perubahan rancangan rumah (tempat
tinggal) mereka, demikian juga sebaliknya yang tidak tertutup
kemungkinan pada rumah gadang yang merupakan salah satu fasilitas rumah(tempat tinggal) bagi masyarakat Minangkabau.


Sekilas Mengenai Kawasan Studi

Koto baru, merupakan salah satu dari sekian banyak nagari yang dimiliki
oleh Sumatera Barat, secara administrasi, nagari ini berada dalam
wilayah Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan dengan luas
wilayahnya ± 24.580 Ha yang terdiri atas daratan dan perbukitan.
Secara fisik sangat banyak jumlah rumah gadang yang dapat kita jumpai
disini, serta dengan jenis yang sangat beragam pula, tetapi dari segi
kuantitas sebagian besar dari rumah gadang tersebut sudah mulai
ditinggalkan oleh pemiliknya, serta banyak dari rumah gadang yang
terdapat pada daerah ini yang sudah tidak berpenghuni atau bahkan
hancur dimakan oleh waktu.

Menurut salah seorang pemuka masyarakat setempat, nagari ini khususnya,
Kabupaten Solok Selatan umumnya memiliki hampir keseluruhan tipe dari
rumah gadang yang terdapat di Sumatera Barat serta terdapatnya beberapa
model yang khas yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Jadi tidak salah
rasanya kalau sebutan ‘Nagari Seribu Rumah Gadang’ disandang oleh
Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan ini atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Alam Surambi Sungai Pagu.

Satu hal yang unik di Alam Surambi Sungai Pagu ini adalah masih
bertahtanya raja-raja lokal yang masih memiliki kekuasaan, kedudukan
dan mendapatkan tempat yang istimewa di hati masyarakat. Disini
terdapat empat orang raja yang dikenal dengan istilah Rajo Nan
Barampek. Raja-raja itu adalah:
•Rajo Alam, yang bergelar “Datuak Yang Dipertuan Bagindo sutan Besar
Tuanko Rajo Disambah”, dari Suku Melayu IV Nyinyiak.
•Rajo adat, yang bergelar “Tuanku Rajo Bagindo“, dari suku Kampai nan
XXIV
•Rajo Ibadat, yang bergelar “Tuanku Rajo Batuah”, dari Suku Panai III
Ibu.
•Rajo pamegang Hak Daciang, yang bergelar “ Tuanku Rajo Malenggang”
dari suku Tigo Lareh Bakapanjangan.

Analisa
Berawal dari sebuah pemikiran yang sederhana, sebelum masuk kedalam
ke-vernakular-an sebuah karya arsitektur, penulis mencoba mengambil
sebuah contoh kasus yang sederhana, semoga dengan contoh kasus yang
sederhana ini dapat mengantarkan kita kedalam pemahaman yang lebih
mendalam mengenai arsitektur vernakular tersebut. Penulis mencoba menganalogikan produk arsitektur tersebut sebagai
sebuah cerutu, yang sudah dianggap dan diakui oleh sebagai salah satu
benda yang sudah jelas kevernakularannya. Sekarang cerutu tersebut
dibedakan menjadi 2, yaitu:
•Cerutu yang pertama dibuat secara tradisional dengan menggunakan
tangan, tanpa adanya bantuan mesin dan teknologi yang canggih. Bahan
baku dari cerutu tersebut menggunakan bahan-bahan alami yang bermutu
tinggi dan diracik dengan telaten oleh tangan-tangan pembuat cerutu
tersebut. Setelah melalui proses pembuatannya, sehingga terciptalah
sebuah batangan cerutu yang kualitasnya baik dan memiliki cita rasa
yang khas.
•Sedangkan cerutu yang berikutnya adalah cerutu yang diolah dengan
bantuan teknologi, seperti mesin dan tenaga ahli yang sudah
berpengalaman dalam membuat cerutu. Bahan baku yang digunakan tetap
sama, yaitu bahan-bahan alami yang bermutu tinggi dan tetap menggunakan
perbandingan bahan yang sama dengan cerutu yang dibuat secara manual,
akhirnya juga menghasilkan sebuah batangan cerutu yang kualitasnya baik
dan memiliki cita rasa yang khas juga.

Berdasarkan kepada kedua analogi diatas, apakah sudah bisa kita
mengkategorisasikan bahwa cerutu jenis pertama merupakan sebuah produk
vernakular? karena dibuat oleh tangan dan tanpa adanya bantuan dari
teknologi (secara tradisional). Sedangkan cerutu jenis kedua bukanlah
sebagai produk vernakular, karena sudah adanya campur tangan teknologi
dan ahli-ahli yang berpengalaman dalam hal pembuatan cerutu. Walaupun
hasil yang diciptakan secara bentuk antara kedua jenis cerutu itu tidak
adanya perbedaan sama sekali, termasuk dari segi rasa maupun
kualitasnya.

Analogi sederhana tersebut merupakan salah satu metode yang ingin
penulis digunakan dalam mengkaji kevernakularan dari rumah gadang yang
merupakan salah satu karya arsitektur yang berasal dari Sumatera Barat
tersebut.

A.Tinjauan Rumah gadang merupakan arsitektur vernakular sebagai produk.

Amos Rapoport dalam salah satu tulisannya yang berjudul Defining
Vernacular Design, telah mencoba untuk mengkarakteristikkan arsitektur
vernakular sebagai produk kedalam beberapa kategori. Karakteristik ini
penulis coba untuk melihatnya pada rumah gadang, sehingga semakin
banyak kesesuainan antara kriteria yang ditulis oleh Rapoport terebut
dengan temuan terhadap rumah gadang dilapangan, diharapkan dapat
menguatkan pendapat bahwa rumah gadang memang merupakan salah satu
produk vernakular dari Sumatera Barat.
Karakteristik sebuah bangunan atau karya arsitektur sebagai arsitektur
vernakular menurut Rapoport adalah:
•Tingkat / derajat kespesifikan budaya atau tempat.
Rumah gadang merupakan bangunan khas daerah Sumatera Barat, seperti
yang tertulis pada buku Rumah Gadang Arsitektur Tradisional Minangkabau
menyebutkan bahwa arsitektur bangunan rumah gadang merupakan
peninggalan tidak tertulis yang sampai pada kita, yang merupakan ciri
dari kebesaran kebudayaan minangkabau masa lalu. Betapapun perubahan
itu terjadi, namun arsitektur bangunan rumah gadang yang dapat kita
saksikan sekarang adalah merupakan pengaruh langgam bangunan masa
lampau.
Seperti yang juga disebutkan oleh Turan dalam Vernacular Architecture,
arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada
tradisi etnik, jadi bangunan rumah gadang merupakan bangunan yang lahir
pada masyarakat minangkabau dan memang berjangkar pada kebudayaan
masyarakat minangkabau itu sendiri.
Noberg Schulz juga mengatakan bahwa secara visual elemen lingkungan
mempunyai keterpaduan yang jelas atas semangat atau kekuatan suatu
tempat yang berorientasi pada lingkungan lokal. Kekuatan tersebut
terbagi atas kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar yang membentuk
identitas masyarakat tersebut. Karakteristik suatu tempat bukan hanya
sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis melainkan menyerap
dan menghasilkan makna sebagai kekhasan suatu tempat atau wilayah.
•Tinjauan terhadap model, denah, morfologi dan spesifikasi bangunan, hubungan antar elemen serta kompleksitas bangunan berdasarkan tempat dimana sebuah bangunan tersebut berada.
Secara garis besar model rumah gadang terbagi atas dua kelompok besar
yang dibagi berdasarkan kepada dua keselarasan atau hukum adat yang
berlaku didalam masyarakat minangkabau. Kedua sistem keselarasan itu
adalah:
- Sistem keselarasan Koto Piliang
Ciri dari model rumah gadang yang menggunakan sistem keselarasan Koto
Piliang ini adalah memiliki anjuang yang terdapat pada bagian kiri dan
bangunan. Anjungan merupakan tempat terhormat didalam suatu rumah
gadang yang ditinggikan beberapa puluh sentimeter dari permukaan lantai
bangunan.
- Siatem keselarasan Bodi Chaniago.
Sedangkan pada rumah gadang yang menggunakan sistem keselarasan Bodi
Chaniago tidak mengenal istilah anjuang tersebut. Jadi bagian lantai
rumah gadang mulai dari bangian ujung sampai pangkal mempunyai
ketinggian lantai yang sama.

Satu hal yang menarik yang ditemui pada kawasan studi ini, yaitu pada
Nagari Koto Baru ini ternyata kedua sistem keselarasan tersebut, yaitu
keselarasan Koto Piliang dan Keselarasan Bodi Chaniago ternyata tidak
begitu mengikat model dari rumah gadang yang terdapat disini. Hal
tersebut merupakan salah satu point penting bagi rumah gadang sebagai
produk vernakular yaitu setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri
dalam menentukan model dari rumah gadang mereka tersebut. Dengan kata
lain bahwa rumah gadang tidak menutup diri terhadap transformasi yang
terjadi pada model rumah gadang tersebut.

Denah dalam suatu rumah rumah gadang dipengaruhi oleh jumlah lanjar
tiang yang terdapat pada rumah gadang itu sendiri. Berbeda dengan 3
Luhak yang terdapat Sumatera Barat yang rumah gadangnya terdiri atas 4
lanjar tiang dan memiliki 5 baris kolom, berbeda halnya dengan rumah
gadang yang terdapat pada kawasan studi ini, yaitu jumlah lanjar tiang
yang terdapat rumah gadang disini adalah berjumlah 3 buah lanjar tiang
dan terdiri atas 4 baris kolom.

-Pola rumah gadang yang terdapat pada Alam Surambi Sungai Pagu.
Rumah gadang yang terdapat pada Alam Surambi Sungai Pagu terdiri atas 3
buah lanjar dan memiliki 4 baris kolom.
-Pola rumah gadang yang terdapat pada Luhak Nan Tigo.
Rumah gadang yang terdapat pada Luhak Nan Tigo terdiri atas 4 buah
lanjar dan memiliki 5 baris kolom.

Terdapat beragam jenis dan macam dari rumah gadang yang terdapat pada
daerah Sumatera Barat. Tetapi secara umum kita dapat menguraikan
morfologi dan spesifikasi elemen dari rumah gadang tersebut.

•Kejelasan, kenampakan (legibility) dan kemudahan dimengerti dari model
yang dipakai.

Sebuah rumah gadang merupakan sebuah produk arsitektur yang muncul dan
berkembang pada masyarakat minangkabau. Tidak ada bangunan lain yang
terdapat di indonesia khususnya yang memiliki tipologi bangunan yang
benar-benar identik dengan rumah gadang yang seperti terdapat pada
Sumatera Barat ini. Seperti halnya dalam penggunaan elemen atap,
merupakan transformasi bentuk gonjong yang didesain bertingkat dan
memiliki ratio tertentu dalam sudut dan ketinggiannya yang mana hal ini
tidak akan ditemukan pada produk arsitektur daerah lain yang terdapat
di indonesia.

Jadi, apabila kita melihat sebuah bangunan yang memiliki ciri seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya maka secara langsung kita
akan mengatakan bahwa bangunan tersebut merupakan salah satu bangunan
yang berasal dari minangkabau (Sumatera Barat).

Sebuah pertanyaan sederhana yang mungkin akan muncul pada pemikiran
kita selanjutnya adalah bagaimana seandainya sebuah bangunan rumah
gadang didirikan diluar daerah Sumatera Barat, seperti halnya yang
terdapat pada Taman Mini Indonesia Indah (pada anjungan minangkabau)
atau diluar negeri (dimana kenyataan sekarang ini banyak kita temukan
bangunan-bangunan khas Indonesia yang diperjual belikan oleh masyarakat
kita yang tidak bertanggung jawab kepada pihak-pihak asing) yang mau
membeli dengan harga yang 'tinggi'.

Berdasarkan kepada uraian diatas, secara tegas penulis mencoba untuk
menyatakan bahwa bangunan-bangunan terebut (rumah gadang) yang
didirikan bukan pada daerah Sumatera Barat itu bukan lagi merupakan
arsitektur vernakular yang berasal dari Sumatera Barat, karena salah
satu hal penting yang sudah hilang dari bangunan tersebut, yaitu telah
terlepas dari konteks lingkungannya, yang dimaksud dengan lingkungan
disini adalah masyarakat minangkabau serta alamnya. Jadi yang tinggal
dari bangunan tersebut hanyalah simbolnya saja, yang tidak memiliki
makna, apalagi nilai ketradisional maupun kevernakularannya

•Kompleksitas berdasar perubahan waktu, kondisi open-ended yang memungkinkan proses adisi (transformasi) berdasarkan aktifitas pemakai yang bersifat majemuk serta penambahan akan tipe serta jumlah dari bangunan vernakular tersebut.

Dilihat dari fungsi dan kegunaan rumah gadang serta definisi ruang yang
ada pada rumah gadang yang terdapat pada Nagari Koto Baru dengan daerah
3 Luhak tidak memiliki perbedaan sama sekali. Berdasarkan fungsi dari
suatu rumah gadang, secara garis besar dapat kita bagi menjadi dua
kategorisasi fungsi pemanfaatannya.
Fungsi pemanfaatan ruang dalam pada rumah gadang itu adalah:
1.Fungsi Adat
Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang masih berpegang teguh
kepada adat istiadat mereka. Ini dapat kita lihat bagaimana falsafah
adat masih tetap mereka jalankan dalam kehidupan sehari-harinya.
Sebuah rumah gadang, merupakan rumah utama yang dimiliki oleh
sekelompok masyarakat Minangkabau yang diikat oleh suatu suku tertentu.
Sebagai rumah utama, rumah gadang merupakan tempat untuk melangsungkan
acara-acara adat dan acara-acara penting lain dari suku yang
bersangkutan.

Kegiatan-kegiatan adat pada masyarakat Minangkabau dapat kita uraikan
berdasarkan kepada siklus kehidupan mereka, yaitu:
•Turun Mandi
•Khitan
•Perkawinan
•Batagak Gala (Pengangkatan Datuak)
•Kematian

Fungsi adat pada suatu rumah gadang dapat kita sebut sebagai fungsi
temporer yang berlangsung pada suatu rumah gadang, karena kegiatan
tersebut tidak berlangsung setiap hari dan berlangsung pada waktu-waktu
tertentu saja.

2.Fungsi Keseharian
Rumah gadang merupakan wadah yang menampung kegiatan sehari-hari dari
penghuninya. Rumah gadang adalah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga
besar dengan segala aktifitas mereka setiap harinya. Pengertian dari
keluarga besar disini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu serta anak wanita, baik itu yang telah berkeluarga ataupun yang
belum berkeluarga. Sedangkan anak laki-laki tidak memiliki tempat di
dalam rumah gadang.

Fungsi inilah sebenarnya yang lebih dominan berlangsung pada suatu
rumah gadang. Sebagaimana lazimnya rumah tinggal bagi masyarakat
umumnya, disinilah interaksi antar anggota keluarga berlangsung.
Aktifitas sehari-hari seperti makan, tidur, berkumpul bersama anggota
keluarga serta lain sebagainya lebih dominan berlangsung disini,
disamping kegiatan-kegiatan adat seperti yang telah diuraikan diatas.

Seiring dengan perjalanan waktu serta semakin meningkatnya aktifitas
masyarakat khususnya yang masih menggunakan rumah gadang sebagai
fasilitas huniannya, telah menyebabkan bertambahnya fungsi-fungsi baru
pada rumah gadang. Secara arsitektural, kita mengetahui bahwa setiap
aktifitas membutuhkan ruang-ruang untuk mengakomodasikan aktifitas
tersebut. Begitu juga pada rumah gadang, ruang-ruang baru yang muncul
pada rumah gadang (transformasi ruang) merupakan jawaban atas semakin
meningkatnya aktifitas serta beragamnya kebutuhan dari penghuni rumah
gadang tersebut.

Berdasarkan temuan dilapangan, meningkatnya kebutuhan serta semakin
beragamnya aktifitas masyarakat Nagari Koto Baru (khususnya yang hidup
di rumah gadang) telah menyebabkan terjadinya transformasi ruang dalam
pada rumah gadang. Hal ini dapat kita lihat semakin beragamnya pola
denah pada beberapa rumah gadang yang terdapat pada Nagari Koto Baru
yang merupakan kawasan studi dari tulisan ini.

Secara garis besar kita dapat mengelompokkan bentuk transformasi yang
terjadi pada ruang dalam di rumah gadang di Nagari Koto Baru ini,
yaitu:
1.Transformasi ruang dalam yang tidak diikuti oleh penambahan fisik
bangunan.
2.Transformasi ruang dalam yang diikuti oleh penambahan fisik bangunan.

Beberapa penyebab yang dapat dijadikan sebagai faktor penyebab
terjadinya transformasi ruang dalam pada rumah gadang pada nagari Koto
Baru adalah:
1.Berubahnya struktur kekerabatan masyarakat Minangkabau khususnya
Nagari Koto Baru dari bentuk keluarga besar menjadi keluarga inti.
2.Semakin meningkatnya aktifitas serta beragamnya kebutuhan masyarakat.
3.Dampak modernisasi.
Masuknya furniture baru ke dalam rumah gadang seperti sofa juga
memberikan dampak yang sangat besar bagi terjadinya transformasi ruang
di dalam rumah gadang. Ruang-ruang dalam rumah gadang menjadi
terkotak-kotak oleh sekat-sekat baru yang bertujuan untuk
mengakomodasikan kegiatan-kegiatan tersebut yang menyebabkan peralihan
sifat ruang yang bersifat publik menjadi privat.
Bagian dapur rumah gadang pun tidak lepas dari transformasi yang
terjadi, bagaimana tungku-tungku kayu yang biasa dipakai untuk memasak
sekarang sudah mulai tergeser fungsinya oleh kompor-kompor minyak tanah
bahkan kompor gas. Pemakaian peralatan modern ini telah menyebabkan
berubahnya lay out dapur di dalam rumah gadang, munculnya meja-meja
dari semen serta mulai maraknya pemakaian wastafel pada dapur rumah
gadang adalah salah satu bukti dari transformasi yang terjadi.
4.Kemajuan teknologi dan media informasi.
Transformasi ruang dalam pada suatu rumah gadang juga dipengaruhi oleh
faktor kemajuan teknologi serta pesatnya perkembangan media informasi.
Sekarang ini, hampir sebagian besar rumah gadang yang terdapat di
Nagari Koto Baru memiliki media elektronik didalamnya, sebut saja
televisi, tape, vcd player serta parabola yang semakin menjamur
kepemilikannya di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bisa
dikatakan bahwa memiliki salah satu dari sekian banyak benda tersebut
merupakan salah satu gaya hidup yang muncul dikalangan masyarakat kita
pada saat ini.

B.Tinjauan Rumah gadang merupakan arsitektur vernakular sebagai proses.
•Anonimitas (tiadanya identitas perancang)
Orang yang ahli membuat rumah gadang ini dikenal dengan sebutan tukang
tuo. Tukang tuo merupakan sekelompak orang yang mampu membuat rumah
gadang. Ukuran yang lazim yang terdapat pada suatu rumah gadang
mengikuti apa yang sepatutnya menurut orang yang membuatnya (tukang
tuo) yang biasa dikenal dengan istilah alua jo patuik
Maka sesuai dengan pandangan tukang tuo ini, mereka menganggap bahwa
segala sesuatu yang terdapat di alam ini mempunyai fungsi
sendiri-sendiri, sesuai dengan ungkapan yang terdapat dalam masyarakat
minangkabau yaitu indak tukang mambuang kayu (yang artinya adalah tidak
tukang membuang kayu), artinya adalah tukang tuo yang ahli tersebut
mampu memanfaatkan setiap kayu yang ada tersebut sesuai dengan
sifatnya, seperti yang disebutkan dalam ungkapan nan kuaik jadikan
tonggak, nan luruih jadikan balabaeh, nan bungkuak ambiak kabajak, nan
lantiak jadikan bubungan, nan satampok kapapan tuai, panarahan ambiak
kakayu api, abunyo ambiak kapupuak.
•Maksud dan tujuan merancang bukan menonjolkan diri
Berbeda halnya dengan rumah gadang sebagai arsitektur tradisonal yang
merupakan lambang eksistensi suatu kaum, sebuah rumah rumah gadang yang
merupakan arsitektur vernakular merupakan sebuah rumah yang biasa
digunakan untuk wadah kegiatan kesehariannya. Jadi tidak tidak adanya
suatu tujuan untuk menonjolkan diri pada rumah gadang tersebut.
•Model dengan variasi
Seperti halnya pada uraian diatas, bahwa rumah gadang memiliki banyak
model dan yariasi yang beragam yang salah satunya tergantung kepada
keselarasan yang dianut oleh kaum yang menempati rumah gadang tersebut,
walapun pada kawasan studi hal itu tidak ditemukan. Tetapi hal ini
merupakan salah satu faktor yang dapat menguatkan bahwa rumah gadang
merupakan produk arstektur vernakular dari Sumatera Barat jika ditinjau
dari segi prosesnya.

C.Tinjauan filosofis rumah gadang sebagai arsitektur vernakular.
Rumah gadang bagi masyarakat minangkabau selain berfungsi sebagai
tempat tinggal, juga berfungsi sebagai lambang eksistensi suatu kaum
(salah satu contohnya yaitu pada beberapa istana raja yang terdapat
pada kawasan penelitian), sebagai tempat bermusyawarah bermufakat dan
sebagai tempat untuk melaksanakan upacara-upacara adat, hal inilah yang
kita kategorikan sebagai muatan filosofis suatu rumah gadang. Baik pada
rumah gadang sebagai arsitektur tradisonal maupun pada rumah gadang
sebagai arsitektur vernakular, muatan filosofis ini sama-sama dapat
kita temukan, seperti yang dibunyikan pada pidato pendirian sebuah rumah gadang,
yaitu:

Rumah gadang basa batuah
Tiang banamo kato hakikat
Pintunyo banamo dalia kiasannyo
Banduanyo sambah manyambah
Bajanjang naiak batanggo turun
Dindiangnyo panutik malu
Biliaknyo alun bunian


Adapun maksud dari pidato diatas adalah jumlah tiang yang terdapat pada
suatu rumah gadang merupakan salah satu faktor yang menentukan besar
kecilnya bangunan rumah yang akan didirikan, letak pintu menentukan
sistem keselarasan yang dianut, bandul (permainan tinggi rendah lantai
suatu rumah gadang) yang merupakan batas antara luar dan dalam rumah
yang tidak dapat dilalui tanpa tata tertib tertentu, rumah yang
berdinding mengkiaskan nilai kebudayaan dan peradabannya sedangkan
kamar merupakan tempat untuk menyimpan barang yang berharga.

Rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama bagi masyarakat minangkabau
yang hidup menganut sistem kekerabatan matrilinial (menurut garis
keturunan ibu) kaum perempuan mendapat kedudukan dan tempat yang
istimewa pada rumah gadang. Setiap wanita yang bersuami akan memperoleh
satu kamar, sedangkan perempuan termuda mendapat kamar terujung yang
kemudian akan pindah jika telah memiliki suami nantinya.

Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan awal penulis mengangkat tema ini adalah untuk
mencoba mendefinisikan kembali pengertian dari arsitektur vernakular
dengan rumah gadang sebagai objek kajian pembahasannya serta ingin
menegaskan bahwa rumah gadang merupakan salah satu wujud dari
arsitektur vernakular yang terdapat pada Sumatera Barat.

Berdasarkan kepada analisa-analisa yang telah dilakukan, maka didapat
beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan tinjauan rumah gadang
sebagai arsitektur vernakular Sumatera Barat, yaitu:

1.Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang
dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar
pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman
(trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta
merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut
berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.

2.Dalam menentukan dan menggolongkan sebuah produk arsitektur apakah
termasuk kedalam arsitektur vernakular ataupun tradisional kita tidak
dapat menetapkannya secara langsung, tetapi harus melakukan beberapa
tinjauan maupun analisa terlebih dahulunya, karena adakalanya sebuah
produk arsitektur tersebut dapat digolongkan kedalam arsitektur
vernakular jika dilihat dari sebagai produknya, atau hanya sebagai
proses yang memiliki nilai kevernakularannya atau hanya pada level
filosofisnya yang memiliki muatan vernakularnya.
Kevernakularan suatu produk arsitektur tidak dapat secara kaku kita
mengklasifikasikannya.

3.Rumah gadang sebagai salah satu produk arsitektur yang berasal dari
daerah Sumatera Barat merupakan salah satu produk arsitektur tradisonal
yang pada tahap tertentu dapat dikatakan sebagai arsitektur vernakular
dan pada tahap tertentu dapat dikategorisasikan sebagai arsitektur
tradisonal.

4.Kesimpulan umum yang coba penulis sampaikan pada hasil analisa
tinjauan rumah gadang sebagai arsitektur vernakular Sumatera Barat ini
adalah semua arsitektur tradisonal merupakan arsitektur vernakular,
apabila terdapatnya transformasi-trasnsformasi yang significant pada
bangunan tersebut tetapi semua arsitektur vernakular belum tentu
merupakan arsitektur tradisonal karena beberapa tinjauan seperti yang
telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, yaitu tinjauan sebagai
produk, proses serta filosofinya.

5.Hal yang lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam kajian ini
adalah untuk memunculkan dan memperkenalkan kembali identitas dari
arsitektur kedaerahan yang banyak kita miliki melalui tinjauan-tinjauan
seperti yang telah dilakukan pada pembahasan diatas yaitu mengetahui
nilai tradisional maupun kevernaularannya.

6.Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang dinamis yang akan
selalu berubah seiring dengan perjalanan waktu. Seperti yang telah
dibunyikan dalam salah satu pepatah adat Minangkabau yaitu ’Alam
Takambang Jadi Guru’. Satu hal menarik yang dapat kita simpulkan disini
adalah bahwa setiap pelajaran yang didapat dari alam itu seharusnya
mampu diakumulasikan sebagai masukan baru dalam kehidupannya, hal
inipun tidak tertutup dalam hal rumah atau fasilitas hunian mereka. Hal
ini merupakan salah satu faktor yang semakin menguatkan bahwa rumah
gadang meruapakan arsitektur vernakular.

DAFTAR PUSTAKA
Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, 1981
Adelina, Farah. Pengaruh Pandangan Hidup Masyarakat Minangkabau
terhadap Pembentukan Arsitektur di Daerahnya. KILAS Jurnal Arsitektur
FTUI Vol 3 No. I / 2001.
Fuadi, Al Busyra. Transformasi Ruang Dalam Pada Rumah Gadang.
Proceeding of ICCI. 2006.
Nakamura, Selma. Minangkabau Village Structure and Meanings Upstream
and Downstream Orientation. Proceeding of International Seminar
Settlement. Faculty of Engeneering University of Indonesia, 1999
KKL Arsitektur Nusantara 2006. Pasir Talang dan Nagari Koto Baru.
Jurusan Arsitektur, Universitas Bung Hatta. 2006.
Pramitasari, Diananta. Bahan Perkuliahan Arsitektur Vernakular, 2007
RUMAH GADANG Arsitektur Tradisional Minangkabau, Proyek Sasana Budaya
Jakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Turan, Mete. Vernacular Architecture, Paradigms of Environmental
Response. 1990
Widya, Dharma, Perubahan Bentuk Rumah Tinggal Tradisional Minangkabau, Proceeding.

3 komentar on "ARSITEKTUR VERNAKULAR SUMATERA BARAT"

vernakular said...

salam kenal...

berkunjung donk ke http://arsitekturntt.com

Anonymous said...

terima kasih,,infonya bkn saya jd lbh tau perbedaan vernakular dan tradisional yg selama ini banyak dianggap kurang lebih sama..
saya mahasiswi arsitektur dan cukup tertarik dengan vernakular,,mau menegaskan lg,,apakah bangunan itu tetap tdk bs dikatakan vernakular bila ada bantuan teknologi saat pembangunannya?walaupun dr lokasi, material dan lain2 sudah memenuhi kriteria vernakular?
terima kasih..

Anonymous said...

artikel nya sangat bermanfaat, thanks