‘Kota memang bukan untuk kaum kecil’, tidak ada satu tempat pun pada ruang-ruang kota yang memang diperuntukkan untuk mereka.
Sebenarnya tulisan ini bukanlah sebuah usaha untuk mendeskreditkan para kaum kecil kota tersebut, tetapi merupakan sebuah usaha jujur yang akan mencoba untuk menggambarkan keberadaan mereka yang harus selalu bertahan diantara kewajiban untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup dengan kewajiban untuk membayar retribusi plus perasaan was-was bilamana sewaktu-waktu para petugas kota datang untuk merobohkan pertahanan rapuh mereka.
Mereka nyata, bahkan sangat nyata, lihat saja betapa suburnya meraka tumbuh dan selalu eksis diantara bangunan-bangunan pusat perbelanjaan baru yang juga semakin gencar untuk berebut lahan dengan mereka. Pedagang kaki lima, sektor informal kota, atau bahkan banyak lagi sebutan indah yang telah kita anugerahkan kepada mereka, tetapi pada kenyataannya keberadaan meraka selalu menjadi momok dimata para petinggi kota dan harus segera untuk ditertibkan.
Pertanyaan yang paling sederhana yang seharusnya dijawab oleh mereka para petinggi kota sekarang ini adalah apakah memang keberadaan mereka telah menyebabkan wajah kota yang memang sudah rusak ini menjadi semakin rusak, atau ini hanyalah sebuah kamusflase dari kurang besarnya income yang bisa mereka sumbangkan kepada kota. Sangat ironis, pada saat retribusi harus tetap mereka bayar tetapi tidak ada satu kekuatan hukumpun yang bisa menjamin mereka untuk dapat bekerja dengan tenang tanpa ada perasaan takut sewaktu-waktu giliran pembongkaran datang pada mereka. Memang, retribusi yang bisa mereka sumbangkan untuk kota ini sangat kecil, hanya dua ribuan saja perhari, yang pasti memang kalah banyak dengan pajak yang disumbangkan oleh pusat perbelanjaan mewah serta papan-papan reklame yang sepertinya sudah sangat menyampah pada ruang-ruang pusat kota kita sekarang.
Siapa yang pernah bertanya kepada mereka, keinginan merekakah untuk berjualan disana, atau ini merupakan cita-cita yang telah tertanam dipikiran mereka sejak kecil? Salah, mereka juga sama seperti kita, saya, anda ataupun para mereka telah ikut meramaikan pesta rakyat beberapa waktu yang lalu. Tidak satupun diantara mereka yang memang berniat untuk menjadi seperti itu, tetapi tuntutan ekonomi dan kita semualah yang telah membentuk mereka, coba saja lihat, berapa banyak masyarakat kota yang memang bergantung kepada mereka, yang juga berbelanja kepada mereka, dengan alasan yang sama yaitu harga yang relative murah apabila berbelanja dari mereka. Ironis memang, pada saat orang-orang yang berani mempersaingkan harga yang relative rendah ini tidak memiliki hak dan kesempatan untuk mempertahankan diri.
Beberapa waktu yang lalu, pada salah satu stasiun televise swasta tanah air kembali memberitakan perihal penggusuran beberapa tempat pedagang kaki lima pada beberapa kota, dengan dalih bahwa kawasan tersebut merupakan daerah yang memang dialokasikan sebagai areal ruang terbuka kota. Dengan gagah dan bersahajanya para petugas melaksanakan tugas mulia yang tengah mereka emban tersebut. Sedikit atau tidak adanya perlawanan dari kaum kecil itu merupakan salah satu indikasi dari keberhasilan dari agenda mereka.
Akhirnya, tenda-tenda serta gerobak-gerobak rapuh mereka itu kembali merasakan kerasnya hantaman bulldozer tanpa diberi sedikit kesempatanpun untuk mempertahankan diri, walaupun retribusi baru saja dipungut dari mereka.
Sedikit berlempar wacana kepada kita bersama, illegal kah mereka? Tidak adakah satu Perda pun yang sudi bercerita tentang keberadaan mereka? Atau yang lebih sederhananya, tidak adakah satu lembaga pemerintahan pun yang ikhlas untuk menampung segala keluh kesah mereka? Ini bukan lagi sekedar pertanyaan mudah, yang memang harus segera kita carikan solusinya. Bukan hanya sebagai agenda rapat sampingan yang selalu hanya pasrah kepada waktu yang kurang cukup untuk membicarakannya. Inilah masalah utama kota-kota kita sekarang, jangan dipaksa mereka untuk menjadi golongan pertama yang akan berteriak betapa semakin termarginalnya keberadaan mereka diantara pesatnya pertumbuhan kota tempat mereka hidup.
Pernahkah terfikir dalam pemikiran para petinggi kota kita sekarang, akan kemanakah mereka setelah lokasi tempat berjualan mereka diluluhlantakkan rata dengan tanah? Akan berhentikah mereka, atau akan mencari lokasi baru yang tidak bersentuhan dengan rencana besar kota tata ruang kota tempat mereka hidup? Atau mencoba untuk mengganti profesi menjadi calon wakil-wakil rakyat, yaitu profesi baru yang sangat menjanjikan beberapa waktu belakangan ini.
Tepatlah kiranya, apabila kita kembali berujar, bahwa ruang-ruang kota memang tidak pernah disediakan untuk mereka. Begitu tingginya harga ruang kota kita sekarang, sehingga mereka dirasa tidak pantas untuk berada disana. Mungkin lebih berharga papan-papan iklan yang menjanjikan pemasukan tinggi bagi kota, walaupun telah membuat kota menjadi semakin lusuh.
Sekarang sudah saatnya kita kembali me-refresh pikiran kita bersama, apakah memang ada ruang-ruang kota yang diperuntukkan buat meraka?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar on "KOTA bukan untuk kaum KECIL"
Post a Comment