belajar dari SOLO

On: March 18, 2011

kaki lima, sektor informal merupakan fenomena yang selalu hadir apabila kita berkaca kepada kota-kota kita sekarang. mungkin sudah seharusnya kita sebagai penghuni kota mulai berfikir kembali tentang mereka.


sedikit berbagi cerita mengenai kegiatan talkshow yang diadakan oleh mahasiswa planologi Universitas Gadjah Mada beberapa hari yang lalu dengan tema communicative planning, peran perencana publik dalam proses perencanaan, dengan menghadirkan walikota SOLO sebagai salah satu narasumbernya, seakan-akan telah memberikan sebuah sentilan kecil kepada kita semua untuk menyadari kembali dan menyusun lagi beberapa pemikiran yang selama ini sudah akrab didalam pemikiran kita masing-masing. sebelumnya, secara pribadi saya ingin memberikan penghargaan kepada seluruh panitia (baik dosen maupun mahasiswa) yang telah bahu membahu agar terselenggaranya acara ini dan untuk sebuah pembelajaran yang sangat berharga yang dapat kita pelajari dari narasumber yang sangat kompeten didalam bidangnya tersebut.

presentasi dimulai oleh bapak walikota SOLO dengan menampilkan slide-slide yang sudah sangat familiar dengan kehidupan dan pemandangan kota kita sehari-hari, yaitu potret-potret pedagang kaki lima (sektor informal kota) yang notabene merupakan permasalahan ataupun ada sebagian orang yang berpendapat mereka itu adalah sisi minus dari sisi plusnya sebuah kota. miris memang, apabila kita berkaca kepada kota-kota kita sekarang, yang terlintas didalam benak kita adalah bangunan-bangunan tinggi penyangga langit (saya sedikit terganggu dengan istilah pencakar langit) dengan deretan mobil-mobil mewah nangkring ditiap-tipa rumah para penghuninya sementara kita lupa bahwa disisi lain dari kota yang kita tinggali ini ternyata masih ada pelaku lain yang kadangkala kita hampir lupa akan keberadaan mereka. yup, mereka itu adalah para sektor informal kota, mereka itu adalah para pedagang kaki lima yang tidak pernah secara tegas didalam kota kita memberikan makna ataupun ruang untuk eksistensi mereka.

lebih lanjut, walikota menyebutkan suatu kalimat yang selalu diteriakkan bersama tetapi entah bagaimana dengan perwujudannya didalam kehidupan berkota kita selama ini, yaitu perencanaan kota harus selalu melibatkan masyarakat. alasan mengapa kalimat tersebut merupakan sebuah point penting dalam tulisan ini adalah karena apabila hal tersebut dapat diwujudkan, mungkin kota-kota kita sekarang merupakan kota yang paling 'indah' diantara kota-kota yang terdapat dibelahan bumi manapun didunia ini. indah yang dimaksudkan disini adalah apabila sebuah kota direncanakan dengan tepat, sesuai dengan konsep dan pemikiran yang benar serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan pengawasan dari seluruh pelaku kota, maka inilah yang akan membuat kota itu tumbuh menjadi sebuah kota yang indah.

berkaca kepada program yang selama ini telah gigih diperjuangkan oleh 'kota SOLO' sekarang, seakan-akan mengingatkan kita kembali tentang arti penting dan betapa krusialnya posisi sektor informal kota sehingga dituntut keseriusan dan kesungguhan dari para stakeholder kota dalam mencarikan solusi atas permasalahan mengenai sektor informal tersebut. menurut pendapat saya pribadi, sebuah wujud dari keberhasilan terbesar dari kota SOLO sekarang ini adalah keberhasilan mereka dalam meletakkan sebuah pemahaman penting mengenai sektor informal ini, yaitu dengan tegas mereka telah berhasil 'mendefinisikan' kembali sektor informal tersebut dan mencoba untuk me'ruang'kan mereka ditengah-tengah kota dengan kata lain mencoba untuk menganggap bahwa mereka itu dan juga berhak akan kota mereka sendiri.

kembali bapak walikota sisela-sela presentasinya juga mengingatkan kita kembali (para asritektur dan planologi) yang akan selalu berkecimpung didalam perencanaan kota dimasa-masa yang akan datang mengenai peran kita (sebagai perencana kota) terhadap sektor informal ini, apakah masih akan menjadi bahan pertimbangan atau bahkan masih tetap dipandang sebagai suatu ancaman. penataan kembali sektor informal dikota SOLO ini diceritakan kronologisnya oleh bapak walikota bukanlah seindah dan semulus seperti yang dibayangkan. lebih dari itu, bahwa penataan ini membutuhkan energi yang sangat banyak, keterlibatan semua sektor pemerintahan dan masyarakat, konsentrasi yang tinggi serta yang lebih penting lagi adalah menciptakan konsultasi publik ditengah-tengah kehidupan berkota. sebuah trend lama yang menurut saya pribadi yang dicoba untuk digagas kembali ditengah-tengah kehidupan berkota kita sekarang yang semakin kental dengan individualistisnya. mungkin inilah salah satu trend yang kurang populer ditengah kehidupan berkota kita sekarang tetapi harus kita coba untuk mewujudkannya kembali. sebuah pemikiran sederhana yang diucapkan oleh walikota dalam presentasinya  yang menurut saya sangat dalam sekali maknanya adalah mengetahui kekhawatiran, keinginan dan ketakutan warga kota merupakan hal yang seharusnya menjadi kajian utama setiap stakeholder kota.

sedikit mengingat-ingat kembali salah satu moment penting yang tercipta pada saat kegiatan penataan kembali sektor informal kota SOLO ini adalah dimana pada saat pemindahan para sektor informal ini ketempat yang baru, mereka secara suka rela membongkar sendiri kios-kios mereka (tanpa adanya tekanan dari pihak pemerintah kota) serta kirap yang diiringi oleh prajurit keraton pada saat proses kepindahan mereka menuju lokasi baru yang memang sudah diperuntukkan bagi mereka, yang menurut penuturan bapak walikota lokasi yang sudah direncanakan dan didisainkan untuk mereka itu disediakan secara gratis tanpa mereka harus membayar sewa setiap bulannya.

semoga, sebuah pelajaran dari kota SOLO ini dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kita para penggiat kota dimasa sekarang maupun masa yang akan datang.

kira-kira di kota saya bagaimana ya?

0 komentar on "belajar dari SOLO"