RUMAH GADANG WUJUD MANIFESTASI KEBUDAYAAN MINANGKABAU

On: October 21, 2008


BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang


Rumah gadang merupakan salah satu wujud dari manifestasi kebudayaan minangkabau. Didalam kehidupan masyarakat minangkabau, selain sebagai wujud kebudayaan, sebuah rumah gadang juga merupakan identitas serta perwujudan dari jati diri masyarakatnya.

Berbicara mengenai manusia dan kebudayaan, masyarakat minangkabau merupakan salah satu dari sekian banyak komunitas yang dimiliki oleh bangsa kita ini, serta yang masih berpegang teguh pada adat istiadat mereka.Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, di pihak lain kebudayaan yang ‘menciptakan’ manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan

Masyarakat minangkabau merupakan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilinial. Hal ini masih dapat kita jumpai sampai sekarang, apabila kita tinjau lebih dalam lagi, maka secara filosofis sistem hidup yang dianut oleh masyarakat minangkabau ini dapat kita lihat pada hakekat dari sebuah rumah gadang tersebut.

Rumusan Permasalahan
Kehidupan dalam bermasyarakat baik itu pada masyarakat minangkabau maupun masyarakat lainnya merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji

Berdasarkan kepada tinjauan antropologi budaya, maka tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasikan rumah gadang sebagai wujud dari manifestasi kebudayaan minangkabau, serta bagaimana hal tersebut tercermin dalam identitas dan jati diri masyarakat minangkabau.

BAB II LANDASAN TEORI

Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1979), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Ki Hajar Dewantara juga pernah menyebutkan bahwa kebudayaan itu adalah budi manusia dalam hidup bermasyarakat.

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973).

Berdasarkan beberapa pengertian dari kebudayaan yang telah dipaparkan diatas, sekiranya kita dapat mengambil beberapa kesimpulan dari hakekat kebudayaan itu, diantaranya adalah:
1.Kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia
2.Kebudayaan tidak diturunkan secara biologis, melainkan diperoleh melalui proses belajar.
3.Kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Koentjaraningrat juga telah mencoba mendefinisikan wujud dari kebudayaan tersebut, seperti yang telah dijabarkan dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi (1979), bahwa wujud dari kebudayaan itu adalah:
1.Suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2.Suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
3.Benda-benda hasil karya manusia.
Yang kesemuanya itu merupakan wujud dari rasa, kemampuan berpikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan pada manusia serta kehendak untuk hidup sempurna, mulia dan bahagia yang menimbulkan kehidupan beragama dan berkesusilaan.

Kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Ide-ide yang ada dalam setiap kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau benda-benda kebudayaan sebagaimana diinginkan oleh pelakunya.

Di samping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat ide-ide yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana mengatasinya (Spradley, 1972).

Pengertian Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial, sebagai makhluk sosial salah satu cirinya adalah berinteraksi antar sesamanya. Masyarakat merupakan salah satu contoh bentuk interaksi yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dalam suatu sistem adat istiadat tertentu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Sebagai mana telah dijelaskan dalam pengertian masyarakat, maka ciri-ciri masyarakat itu sendiri adalah:
1.Kesatuan antar individu (gabungan dari beberapa individu).
2.Menempati suatu wilayah tertentu.
3.Terdapat sistem yang berlaku dan telah disepakati bersama.
4.Terdapat interaksi antar sesamanya.

Tinjauan Suku dalam Masyarakat Minangkabau
Suku merupakan unit utama dalam struktur masyarakat minangkabau. Suku merupakan suatu kesatuan geneologis yang diturunkan menurut garis matrilineal (garis keturunan ibu), serta suku merupakan identitas bagi masyarakat minangkabau (Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, 2006).

Suku dipimpin oleh seorang penghulu yang diberi gelar datuak. Ia merupakan mamak bagi seluruh anggota sukunya, yang disebut dengan kamanakan (kemenakan). Setiap suku terdiri dari beberapa paruik yang masing-masingnya berasal dari satu nenek. Paruik merupakan sebuah keluarga besar (extended family) dan mendiami sebuah rumah gadang. Sebagai pimpinan pada rumah gadang diangkat diangkat seorang laki-laki tertua dalam keluarga itu. Ia disebut dengan tungganai dan menjadi mamak bagi kemenakannya, yang terdapat pada rumah gadang tersebut.

Pada awalnya pada masyarakat minangkabau terdiri atas 4 suku utama (Zulqayyim, 2006), yaitu suku Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Dari keempat suku inilah kemudian membelah, sehingga sekarang ini terdapat 96 suku.

Keempat suku ini berpasangan dalam dalam lareh (laras), yaitu keselarasan Koto-Piliang dan Bodi-Caniago, yang masing-masing keselarasan ini mengandung makna hukum sendiri-sendiri dalam kehidupan bersukunya, yaitu tata cara adat turun temurun. Perbedaan yang pokok antara keduanya terletak tata susunan nagari, pangkat kepenghuluan dan tata cara pemilihan penghulunya.

Beberapa perbedaan yang terdapat pada kedua sistem kelarasan ini adalah:
1.Kelarasan Koto-Piliang
Lebih bersifat otokratis dalam kehidupan sehari-harinya, nagari-nagari yang menganut keselaran ini dipimpin oleh para penghulu dengan hierarki kepenghuluannya. Hal ini tercermin pada lantai (tempat duduk) balairungnya yang bertingkat-tingkat menurut jumlah tingkat penghulu duduk, yang sesuai dengan tingkat kepenghuluannya.
Adapun tempat yang paling tinggi diduduki oleh penghulu pucuk dan yang terendah diduduki oleh penghulu induk. Sistem pergantian penghulunya didasarkan kepada garis keturunan langsung, maksudnya gelar kepenghuluan diberikan kepada kamanakan kanduang (kemenakan kandung), yaitu anak saudara perempuan kandung dari penghulu yang bersangkutan.
2.Kelarasan Bodi-Caniago
Lebih bersifat demokratis, nagari-nagari yang menganut sistem ini dipimpin oleh para penghulu secara kolektif. Oleh sebab itu lantai (tempat duduk) balairungnya datar, tidak bertingkat-tingkat. Setiap penghulu mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam memimpin nagari. Sebagai pemimpin dipilih salah seorang yang tertua diantara mereka dan sistem pergantian penghulunya didasarkan kepada kemampuan dan kecakapan seseorang dari anggota sukunya.

Tinjauan Nagari

Secara garis besar, daerah di minangkabau terbagi atas 3 daerah utama yang terkenal dengan islilah Luhak Nan Tigo, yaitu:
1.Luhak Tanah Datar atau yang biasa disebut dengan istilah Luhak Nan Tuo
2.Luhak Agam
3.Luhak Limo Puluah Koto atau yang biasa disebut dengan istilah dengan Luhak Nan Bungsu.

Ketiga luhak tersebut biasa dikenal dengan istilah daerah darek atau daerah asal, sedangkan daerah-daerah yang terdapat diluar daerah darek, walaupun masih berada didalam daerah Sumatera Barat dikenal dengan istilah rantau. Masing-masing luhak maupun daerah rantau ini terdiri atas beberapa buah nagari didalamnya. Menurut Rusli Amran, 1981, dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, menyebutkan bahwa nagari merupakan kesatuan teritorial dan pemerintahan yang menjadi dasar Kerajaan Minangkabau dahulunya dan masing-masing nagari ini mempunyai satuan pemerintahan sendiri-sendiri.

Nagari adalah kesatuan geografis, politik, dan administratif yang terdapat di minangkabau. Menurut Zed dalam Jony Wongso (2001), pada mulanya nagari merupakan wilayah yang terdiri dari kesatuan-kesatuan geneologis, kemudian meluas menjadi kesatuan-kesatuan teritorial yang bukan semata-mata berdasarkan ikatan geneologis lagi. Stibbe dalam Marzam (Basirompak, 2001) juga mencoba memaparkan pengertian dari istilah nagari ini, menurutnya nagari merupakan masyarakat disuatu daerah yang berdiri sendiri dengan alat-alat perwakilannya, hak milik, kekayaan dan tanahnya sendiri.

Selama beberapa abad yang lalu, sekurang-kurangnya sampai sebelum masuknya sistem pemerintahan kolonial Belanda, negeri minangkabau merupakan unit organisasi sosial tertinggi yang dipimpin oleh suatu dewan penghulu, yang terdiri dari wakil-wakil penghulu suku. Tidak ada keterkaitan struktural antara satu nagari dengan nagari yang lain, karena para penghulu yang berkuasa di setiap nagari bukan mewakili raja yang bersemayam di Pagaruyung, melainkan mewakili kelompok-kelompok keluarga dalam nagari itu sendiri (Zed, 1996).

Perkembangan nagari-nagari yang ada di minangkabau (Manan, 1995:24), berawal dari perkembangan dari suatu warga suku yang kemudian membuka tanah baru di luar batas nagari. Di daerah ini dilakukan perintisan daerah perladangan dan persawahan serta pembangunan pemukiman baru. Daerah ini dinamakan taratak. Perluasan taratak akan memunculkan sebuah dusun. Kumpulan dari dusun-dusun yang warganya berasal dari berbagai suku akan membentuk sebuah koto. Koto yang telah berkembang dan memiliki kelompok-kelompok keluarga atau kekerabatan yang berasal dari berbagai suku akan membentuk sebuah nagari.

Dari beberapa pendapat di atas, terlihat bahwa dalam perkembangan nagari menunjukkan adanya suatu kesatuan geografis, politik dan administratitf berdasarkan pada kesatuan-kesatuan geneologis teritorial yang ada di minangkabau. Struktur sosial masyarakat yang mendiami nagari-nagari di minangkabau, menurut Manan (1995), jika disederhanakan secara antropologis terdiri dari suku (clan), kaum (lineage) dan paruik (sub linieage).

Nagari merupakan federasi dari suku (menurut tambo: sebuah nagari minimal terdiri dari 8 suku), suku merupakan federasi dari satu kaum atau lebih, kaum merupakan federasi dari suatu paruik atau lebih, sebuah paruik adalah kelompok matrilinial yang mendiami sebuah rumah gadang yang terdiri dari 3 generasi dan memiliki harta pusaka bersama tersendiri.

Masyarakat Minangkabau sebagai ‘Masyarakat yang Berbudaya’
‘Urang Minang’, merupakan sebutan yang biasa digunakan untuk menunjukkan identitas masyarakat minangkabau dan mendiami sebagian besar wilayah propinsi Sumatera Barat. Daerah aslinya merupakan tiga kesatuan wilayah adat yang disebut luhak nan tigo (wilayah yang tiga), yaitu : Luhak Agam, Luhak Limapuluh Koto, dan Luhak Tanah Datar.

Asal-usul nama minangkabau sangat beragam, tetapi berdasarkan tambo, nama itu berasal dari peristiwa kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan orang-orang kerajaan Majapahit yang ingin merebut wilayah ini (Gusdiasdial), seperti yang dibunyikan talibun dalam tambo asal usul nama minangkabau dibawah ini:
Karano tanduak basi paruik tajalo
Mati di Padang Koto Ranah
Tuo jo Mudo sungguahpun heran
Datangnya indak karano diimbau
Dek karano Cadiak Niniak kito
Lantaran manyambuang di galanggang tanah
Dipadapek tuah kamujuran
Timbualah namo Minangkabau


Masyarakat minangkabau merupakan salah satu masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat istiadat mereka. Sistem kekerabatan matrilinial merupakan salah satu pembeda dengan suku bangsa lain yang terdapat di Indonesia.

BAB III ANALISA

Rumah Gadang
Rumah Gadang merupakan rumah tradisional yang merupakan hasil kebudayaan dari suku minangkabau. Rumah Gadang bukan hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian luar dan dalamnya mengandung arti dan makna tersendiri yang secara keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilinial yang dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Dalam tulisannya Amos Rapoport menegaskan bahwasanya bangunan sebuah rumah (tempat tinggal) merupakan sebuah fenomena budaya yang bentuk dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh “cultural milieu” dari etnis tertentu sebagai pemiliknya. Dari tulisan ini kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa perubahan budaya dari suatu etnis tertentu akan berpengaruh pada perubahan rancangan rumah (tempat tinggal) mereka, demikian juga sebaliknya yang tidak tertutup kemungkinan pada rumah gadang yang merupakan salah satu fasilitas rumah (tempat tinggal) bagi masyarakat minangkabau.

Arsitektur Rumah Gadang sebagai Manifestasi Kebudayaan Minangkabau
Berbicara mengenai kebudayaan, maka secara utuh hal itu akan mencakup mengenai buah pikiran, perbuatan dan hasil karya (artefak). Seperti yang diungkapkan oleh Bakema, arsitektur merupakan ekpresi tiga dimensi dari perilaku manusia.

Layaknya rumah-rumah adat setiap suku bangsa di Indonesia, rumah gadang merupakan salah satu wujud budaya yang lahir dan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat minangkabau itu sendiri.

Seperti halnya rumah adat lainnya, rumah gadang juga kaya dengan makna yang merupakan gambaran umum dari kehidupan masyarakat minangkabau secara keseluruhan. Seperti salah satu produk dari kebudayaan, rumah gadang juga sarat akan makna dan simbol-simbol yang tercermin dalam perikehidupan masyarakat minangkabau dalam kesehariannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, rumah gadang memiliki fungsi-fungsi tersendiri, fungsi tersebut adalah:

1.Fungsi Adat

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat istiadat mereka. Ini dapat kita lihat bagaimana falsafah adat masih tetap mereka jalankan dalam kehidupan sehari-harinya.
Sebuah rumah gadang, merupakan rumah utama yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat minangkabau yang diikat oleh suatu suku tertentu. Sebagai rumah utama, rumah gadang merupakan tempat untuk melangsungkan acara-acara adat dan acara-acara penting lain dari suku yang bersangkutan.
Kegiatan-kegiatan adat pada masyarakat minangkabau dapat kita uraikan berdasarkan kepada siklus kehidupan mereka, yaitu:
Turun Mandi
Khitan
Perkawinan
Batagak Gala (Pengangkatan Datuak)
Kematian
Fungsi adat pada suatu rumah gadang dapat kita sebut sebagai fungsi temporer yang berlangsung pada suatu rumah gadang, karena kegiatan tersebut tidak berlangsung setiap hari dan berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja.

2.Fungsi Keseharian

Rumah gadang merupakan wadah yang menampung kegiatan sehari-hari dari penghuninya. Rumah gadang adalah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga besar dengan segala aktifitas mereka setiap harinya. Pengertian dari keluarga besar disini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu serta anak wanita, baik itu yang telah berkeluarga ataupun yang belum berkeluarga, sedangkan anak laki-laki tidak memiliki tempat di dalam rumah gadang.
Fungsi inilah sebenarnya yang lebih dominan berlangsung pada suatu rumah gadang. Sebagaimana lazimnya rumah tinggal bagi masyarakat umumnya, disinilah interaksi antar anggota keluarga berlangsung. Aktifitas sehari-hari seperti makan, tidur, berkumpul bersama anggota keluarga dan lain sebagainya lebih dominan berlangsung disini, disamping kegiatan-kegiatan adat seperti yang telah diuraikan diatas.

Seiring dengan perjalanan waktu serta semakin meningkatnya aktifitas masyarakat khususnya yang masih menggunakan rumah gadang sebagai fasilitas huniannya, telah menyebabkan bertambahnya fungsi-fungsi baru pada rumah gadang. Secara arsitektural, kita mengetahui bahwa setiap aktifitas membutuhkan ruang-ruang untuk mengakomodasikan aktifitas tersebut. Begitu juga pada rumah gadang, ruang-ruang baru yang muncul pada rumah gadang (transformasi ruang) merupakan jawaban atas semakin meningkatnya aktifitas serta beragamnya kebutuhan dari penghuni rumah gadang tersebut.

Rumah Gadang sebagai Artefak Kebudayaan
Seperti yang telah dijabarkan diatas, masyarakat minangkabau merupakan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, yaitu garis keturunan menurut ibu. Sebagai masyarakat yang menganut sistem matrilineal, maka sistem suku pun juga menurut ibu, jadi apabila ibu memiliki suku Piliang maka secara turun temurun, anak-anak pada keluarga tersebut juga memiliki suku yang sama dengan ibunya.

Rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama bagi masyarakat minangkabau yang hidup menganut sistem kekerabatan matrilinial (menurut garis keturunan ibu) kaum perempuan mendapat kedudukan dan tempat yang istimewa pada rumah gadang. Setiap wanita yang bersuami akan memperoleh satu kamar, sedangkan perempuan termuda mendapat kamar terujung yang kemudian akan pindah jika telah memiliki suami nantinya. Anak laki-laki tidak memiliki tempat pada rumah gadang ini, sejak dari dahulunya anak-laki yang mulai beranjak dewasa akan tinggal pada surau-surau keluarga atau pergi merantau keluar dari kampungnya.

Rumah gadang bagi masyarakat minangkabau selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai lambang eksistensi suatu kaum. Fungsi lain dari rumah gadang ini adalah sebagai tempat bermusyawarah bermufakat dan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara-upacara adat, seperti yang dibunyikan pada pidato pendirian sebuah rumah gadang, yaitu:

Rumah gadang basa batuah
Tiang banamo kato hakikat
Pintunyo banamo dalia kiasannyo
Banduanyo sambah manyambah
Bajanjang naiak batanggo turun
Dindiangnyo panutik malu
Biliaknyo alun bunian


Adapun maksud dari pidato diatas adalah jumlah tiang yang terdapat pada suatu rumah gadang merupakan salah satu faktor yang menentukan besar kecilnya bangunan rumah yang akan didirikan, letak pintu menentukan sistem keselarasan yang dianut, bandul (permainan tinggi rendah lantai suatu rumah gadang) yang merupakan batas antara luar dan dalam rumah yang tidak dapat dilalui tanpa tata tertib tertentu, rumah yang berdinding mengkiaskan nilai kebudayaan dan peradabannya sedangkan kamar merupakan tempat untuk menyimpan barang yang berharga.

Hirarki ruang didalam rumah gadang adalah:
Secara garis besar, ruang dalam suatu rumah gadang dapat kita kategorisasikan ke dalam 4 zoning utama. Penzoningan ini didasarkan kepada hirarki ruang yang terdapat pada rumah gadang itu sendiri, yaitu:
1.Publik, yaitu ruang tamu atau ruang bersama yang merupakan sebuah ruangan lepas tanpa adanya pembatas apapun.
2.Semi Privat, yaitu ruang peralihan seperti bandua yang terdapat didepan kamar tidur serta anjuang (ruang khusus) yang terdapat pada bagian ujung-ujung rumah gadang yang dapat kita temukan pada beberapa jenis rumah gadang.
3.Privat, yaitu kamar-kamar tidur yang terdapat di dalam rumah gadang yang dahulunya berdasarkan kepada jumlah anak gadis yang dimiliki oleh sipemilik rumah.
4.Servis, yaitu dapur yang pada dahulunya merupakan dapur tradisional yang masih menggunkan kayu sebagai bahan bakarnya .

Sebagai artefak kebudayaan, beberapa karakteristik dari arsitektur rumah gadang adalah:
1.Tingkat / derajat kespesifikan budaya atau tempat.
Rumah gadang merupakan bangunan khas daerah Sumatera Barat, seperti yang tertulis pada buku Rumah Gadang Arsitektur Tradisional Minangkabau, bahwa arsitektur bangunan rumah gadang merupakan peninggalan tidak tertulis yang sampai pada kita, yang merupakan ciri dari kebesaran kebudayaan minangkabau masa lalu. Betapapun perubahan itu terjadi, namun arsitektur bangunan rumah gadang yang dapat kita saksikan sekarang adalah merupakan pengaruh langgam bangunan masa lampau.

Seperti yang juga disebutkan oleh Turan dalam Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, jadi bangunan rumah gadang merupakan bangunan yang lahir pada masyarakat minangkabau dan memang berjangkar pada kebudayaan masyarakat minangkabau itu sendiri.

Noberg Schulz juga mengatakan bahwa secara visual elemen lingkungan mempunyai keterpaduan yang jelas atas semangat atau kekuatan suatu tempat yang berorientasi pada lingkungan lokal. Kekuatan tersebut terbagi atas kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar yang membentuk identitas masyarakat tersebut. Karakteristik suatu tempat bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis melainkan menyerap dan menghasilkan makna sebagai kekhasan suatu tempat atau wilayah.

2.Tinjauan terhadap model, denah, morfologi dan spesifikasi bangunan, hubungan antar elemen serta kompleksitas bangunan berdasarkan tempat dimana sebuah bangunan tersebut berada.
Secara garis besar model rumah gadang terbagi atas dua kelompok besar yang dibagi berdasarkan kepada dua kelarasan atau hukum adat yang berlaku didalam masyarakat minangkabau.
Kedua sistem kelarasan itu adalah:
•Sistem kelarasan Koto Piliang
Ciri dari model rumah gadang yang menggunakan sistem kelarasan Koto Piliang ini adalah memiliki anjuang yang terdapat pada bagian kiri dan bangunan. Anjungan merupakan tempat terhormat didalam suatu rumah gadang yang ditinggikan beberapa puluh sentimeter dari permukaan lantai bangunan.
•Sistem kelarasan Bodi Caniago.
Sedangkan pada rumah gadang yang menggunakan sistem kelarasan Bodi Caniago tidak mengenal istilah anjuang. Jadi bagian lantai rumah gadang mulai dari bangian ujung sampai pangkal mempunyai ketinggian lantai yang sama.

Elemen-elemen bangunan dalam rumah gadang itu dapat juga kita bagi menjadi 2 bagian utama, yaitu:
a.Halaman
Halaman suatu rumah gadang merupakan sebuah rumah terbuka yang penting bagi suatu rumah gadang, biasanya sebuah halaman pada rumah gadang merupakan tempat untuk melangsungkan acara-acara pada sebuah kekerabatan.

Elemen-elemen yang terdapat pada sebuah halaman rumah gadang adalah:
Rangkiang
Rangkiang merupakan suatu bangunan yang terdapat dihalaman sebuah rumah gadang yang berbentuk bujur sangkar dan diberi atap ijuk bergonjong yang berfungsi sebagai lumbung tempat penyimpanan padi yang didirikan di depan rumah gadang.
Menurut A.A. Navis (1984) terdapat beberapa jenis rangkiang pada suatu rumah gadang, diantaranya yaitu:
a.Sitinjau lauik
Rangkiang jenis ini merupakan rangkiang tempat penyimpanan padi yang akan dijual untuk membeli keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibuat atau dikerjakan sendiri.
b.Sibayau-bayau
Rangkiang jenis ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi yang akan digunakan untuk keperluan sehari-hari.
c.Sitangguang lapa
Merupakan jenis rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi yang akan dipergunakan sebagai cadangan pada masa paceklik tiba.
d.Rangkiang kaciak
Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi yang akan digunakan sebagai benih dan biaya pengerjaan penanaman sawah pada masa tanam berikutnya.

Tabuah larangan
Merupakan sebuah bangunan berbentuk persegi panjang, beratap ijuk dan bergonjong untuk menempatkan bedug yang terbuat dari kayu panjang. Biasa digunakan sebagai alat untuk memberikan tanda pada saat bahaya atau pemberitahuan pada saat ada suatu acara.

Lasuang dan alu
Merupakan alat kelengkapan suatu rumah gadang yang biasa digunakan sebagai alat untuk menumbuk padi.

Dapur
Daerah servis pada rumah gadang yang biasanya juga merupakan bagian dari rumah, tetapi pada sebagian rumah gadang dapur biasanya terpisah dari rumah gadang.

b.Elemen bangunan
Elemen-elemen bangunan yang terdapat pada suatu rumah gadang adalah:
•Sandi
Merupakan pondasi yang terdapat pada sebuah rumah gadang yang berasal dari batu alam.

•Tangga
Tangga pada sebuah rumah gadang terbuat dari bahan material kayu dan biasanya diawali dengan sebuah batu alam yang datar, biasanya jumlah anak tangga ini berjumlah ganjil, seperti 5, 7 dan 9.

•Tiang
Ada berbagai nama dan jenis tiang pada suatu rumah, pemberian nama pada setiap tiang pada suatu rumah gadang tersebut disesuaikan dengan fungsi dan letaknya pada rumah gadang.

•Balok
Merupakan pengikat antara tiang dengan tiang pada suatu rumah gadang yang membujur pada bagian atas maupun pada bagian bawah tiang.

•Ruang
Ruang atau space pada suatu rumah gadang merupakan ruangan yang terbentuk oleh deretan tiang-tiang yang membujur didalam rumah gadang tersebut.

•Bilik
Bilik merupakan daerah privat bagi penghuni suatu rumah gadang, bilik pada pangkal rumah gadang dihuni oleh orang tua dan anak-anak gadis yang belum menikah sedangkan bilik yang terdapat pada ujung rumah gadang dihuni oleh pasangan pengantin.

•Dinding
Dinding pada rumah gadang terbagi atas tiga bagian, yaitu dinding depan, dinding sasak, serta dinding samping. Secara umum dinding pada rumah gadang tersebut terbuat dari anyaman bambu yang diikat oleh papan-papan sebagai tulangannya.

•Atap
Atap sebuah rumah gadang biasanya terdiri dari ijuk, walaupun pada masa sekarang penggunaan bahan ijuk ini sudah marak diganti dengan penggunaan material seng.

•Gonjong
Gonjong merupakan ciri khas dari rumah tinggal tradisional masyarakat minangkabau, sehingga rumah tinggal masyarakat minangkabau ini juga dikenal dengan istilah rumah bagonjong.

3.Pengunaan material tertentu, warna, tekstur serta mempunyai hubungan dengan landsekap.
Prinsip dari pembangunan rumah gadang adalah menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada. Material utama yang digunakan pada bangunan rumah gadang merupakan material kayu yang banyak terdapat disekitar lokasi dimana bangunan tersebut akan didirikan. Serta memunculkan warna-warna alami dalam pemakaiannya.

Masyarakat minangkabau merupakan masyarakat yang hidup secara komunal atau berkelompok, serta memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Hal ini tercermin dari terdapatnya open space atau ruang terbuka yang terdapat pada setiap kelompok atau group fasilitas hunian mereka (rumah gadang) yang merupakan wadah untuk tempat bersosialisasi bagi masyarakatnya.

4.Kejelasan, kenampakan dan kemudahan dimengerti dari model yang dipakai
Sebuah rumah gadang merupakan sebuah produk arsitektur yang muncul dan berkembang pada masyarakat minangkabau. Tidak ada bangunan lain yang terdapat di indonesia khususnya yang memiliki tipologi bangunan yang benar-benar identik dengan rumah gadang yang seperti terdapat pada rumah adat Sumatera Barat ini. Seperti halnya dalam penggunaan elemen atap, merupakan transformasi bentuk gonjong yang didesain bertingkat dan memiliki ratio tertentu dalam sudut dan ketinggiannya yang mana hal ini tidak akan ditemukan pada produk arsitektur daerah lain yang terdapat di indonesia.
Jadi, apabila kita melihat sebuah bangunan yang memiliki ciri seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya maka secara langsung kita akan mengatakan bahwa bangunan tersebut merupakan salah satu bangunan yang berasal dari minangkabau (Sumatera Barat).

5.Kompleksitas berdasarkan perubahan waktu, kondisi open ended yang memungkinkan terjadinya proses adisi (transformasi) berdasarkan aktifitas pemakai yang bersifat majemuk serta penambahan akan tipe serta jumlahnya.
Berdasarkan kepada falsafah hidup masyarakat minangkabau, yaitu ‘alam takambang jadi guru’ memuat sebuah semangat bahwasanya semua perubahan dari lingkungan sekitar seharusnya dapat menjadi sebuah pembelajaran dalam kehidupan masyarakat minangkabau itu sendiri.

Dalam pengertian sederhana kita dapat mengatakan bahwa masyarakat minangkabau adalah masyarakat yang tidak menutup diri terhadap perubahan, begitupun halnya dengan rumah tempat tinggal mereka.
Bertambahnya anggota keluarga serta semakin meningkatnya kebutuhan akan ruang dalam rumah tinggal, tidak menutup untuk terjadinya transformasi dalam setting hunian mereka, baik itu transformasi yang terjadi pada ruang dalam rumah gadang maupun setting ruang luarnya.
Dalam skala kecil dapat kita lihat, pendirian bangunan-bangunan baru yang terdapat disekeliling rumah gadang, merupakan salah satu jawaban atas sudah tidak mampunya lagi rumah gadang dalam mengakomodasikan kebutuhan penghuninya. Serta semakin bergesernya sistem kekeluargaan yang biasanya disebut dengan istilah nucleus family menjadi ekstended family, merupakan bentuk-bentuk transformasi yang merupakan jawaban atas falsafah ‘alam takambang jadi guru’ tersebut.

BAB IV KESIMPULAN

Masyarakat minangkabau adalah masyarakat yang berbudaya, tidak adanya satu kegiatanpun dalam keseharian masyarakat minangkabau yang terlepas dari adat istiadat yang mereka pegang teguh selama ini.

Sistem kekerabatan matrilinial yang meraka anut selama juga memberikan dampak serta pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat masyarakat minangkabau ini. Rumah gadang, yang merupakan salah satu artefak kebudayaan minangkabau juga banyak dipengaruhi oleh sistem matrilinial tersebut.

Rumah gadang merupakan salah satu bentuk dari hasil kebudayaan masyarakat minangkabau yang betul-betul lahir atas konsekuensi sistem matrilinial yang dianut oleh masyarakat minangkabau. Salah satunya secara jelas dapat kita lihat pada setting ruang dalam rumah gadang, seperti sistem penggunaan kamar serta tidak adanya tempat bagi anak laki-laki mereka pada rumah gadang tersebut.

Semakin meningkatnya aktifitas dan semakin beragamnya kebutuhan masyarakat minangkabau, tidak menutup untuk terjadinya transformasi pada rumah gadang. Sebagai masyarakat yang dinamis dan menganut falsafah hidup ’alam takambang jadi guru’ telah mengisyaratkan bahwa masyarakat minangkabau adalah masyarakat yang selalu membuka diri terhadap perubahan dan akan berkembang sesuai dengan tuntutan hidup dan peningkatan aktifitas masyarakatnya.

Rumah gadang, sebagai salah satu artefak dari kebudayaan minangkabau merupakan salah satu produk budaya bernilai tinggi serta merupakan jati diri dan identitas bagi masyarakat maupun adat istiadat minangkabau.


DAFTAR PUSTAKA

Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan,
1981.
Adelina, Farah. Pengaruh Pandangan Hidup Masyarakat Minangkabau terhadap Pembentukan Arsitektur di Daerahnya. KILAS Jurnal Arsitektur FTUI Vol 3 No. I / 2001.
Fuadi, Al Busyra. Transformasi Ruang Dalam Pada Rumah Gadang. Proceeding of ICCI. 2006.
Nakamura, Selma. Minangkabau Village Structure and Meanings Upstream and Downstream Orientation. Proceeding of International Seminar Settlement. Faculty of Engeneering University of Indonesia, 1999.
KKL Arsitektur Nusantara 2006. Pasir Talang dan Nagari Koto Baru. Jurusan Arsitektur, Universitas Bung Hatta. 2006.
Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1979
RUMAH GADANG Arsitektur Tradisional Minangkabau, Proyek Sasana Budaya Jakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Turan, Mete. Vernacular Architecture, Paradigms of Environmental Response. 1990
Widya, Dharma, Perubahan Bentuk Rumah Tinggal Tradisional Minangkabau, Proceeding.
Wongso, Jony, Perkembangan Pola Ruang Kota Bukittinggi dari Koto Jolang ke Kota Madya, Tesis S2 Arsitektur UGM, 2001

1 komentar on "RUMAH GADANG WUJUD MANIFESTASI KEBUDAYAAN MINANGKABAU"

Anonymous said...

wah blognya bagus, dan artikelnya menatik, saya tunggu artikel berikutnya..

salam sukses